Kamis, 24 Desember 2015

Keinginan singkat semata, atau memang benar cita-cita? [Part I]



 Oh, Hi there!

*Warning!* Postingan ini menggunakan lo-gw, yang notabene gapernah digunakan sejak postingan pertama, jadi jangan kaget karena penulis memang sedang ingin menggunakan bahasa gaul.

Karena lagi gada kerjaan, atau memang karena gw adalah pengangguran sepanjang liburan, akhirnya gw memutuskan buat nulis post ini. 

Sambil sedikit pusing gegara masuk angin kali ya, gw mikir-mikir lagi tentang cita-cita gw sekarang. 

Pengen jadi Penerjemah.

Iya.

Penerjemah. Pake italics, bold, underline pula. << ini penegasan

Tulisan maupun lisan.
Kalo tulisan biasanya disebut Translator, sedangkan kalo lisan Interpreter.

Kalo ditanya lebih milih mana, gw sih oke-oke aja dengan keduanya, lagian sama-sama punya kelebihan dan kekurangan masih-masing walau banyakan lebihnya sih, yang kurang sih kemampuan gw *digampar* wkaka *krik*

Kalo Translator, harus paham betul tata bahasa dan penerjemahannya secara luwes, sedangkan kalo Interpreter mah masa bodo sama gramatikal, gausah rapih-rapih yang penting appropriate dan sama-sama paham.

Nah, cita-cita seorang anak itu kan berubah seiring bertambah dewasa (atau bertambahnya umur?) dan pengalaman mengenai dunia luar si anak. Pas SD, kalo ditanyain mau jadi apa, pasti jawabnya sekitaran Guru (Mungkin karena ngidolain guru kelas kali ya(?) ) , Dokter (puyeng di pala sama puyeng di dompet, double strike mati lo wkak), Pilot (karena mereka pikir pesawat itu keren *0* ), Presiden (Lah tambah puyeng mikirin negara dan isinya *kan anak SD pikirannya belum nyampe situ dodol*). Dan disinilah gw, masih keinget pas ditanyain mau jadi apa, dengan lantang menjawab CHEF BU!! @_@ Pas ditanyain alesannya, dengan senyum merekah, ngejawab Biar bisa makan enak tiap hari bu! Lahiya emang gw si tambun dari bayi yang gapernah cuti ngecilin badan emang pikiran gabisa lepas dari makanan enak, cita-cita perdana pun seputar makanan /.\

Dan, cita-cita tersebut berubah setelah negara api menyerang, HAHA *krik*

Naik kelas 6, gw dibeliin PC sama ortu, gegara ngerengek-rengek setelah abis ngerasain betapa dahsyatnya bermain game bernama ZUMA.

PC pentium 4 tersebut adalah pintu pertama yang membukakan mata hati *sosoan deh* dan pikiran gw pada teknologi.

Jadi, Om gw yang seorang progammer punya PC di rumahnya, gw nginep barang sehari, terus gw gasengaja liat om gw lg main zuma di kamarnya. Lah gw pantengin. Kok kayaknya asik ya, pikir gw dulu. Akhirnya gw keranjingan dan tiap akhir pekan minta nginep di rumah om cuma buat main zuma-_-"

Begitulah masa transisi gw dari anak 90an yang biasanya main permainan tradisional ke anak abad 21 yang mainin komputer.

Tidak lama kemudian, dipasanglah PC bersama internetnya *Yay!*
Bener-bener deh, itu yang bikin gw terperosok ke lubang hitam gelap seperti malam tak berbintang bernama kecanduan game. Emang dasarnya gw bocah yang gabisa ngatur waktu, jadi terbuanglah banyak waktu ke game tersebut. Gw jadi sering main game online (bukan PB, LS, dsb karena itu harus download lol >,>) sampe begadang pas malming.

Tapi itulah yang bikin kemampuan bahasa inggris gw meningkat, karena untuk main game yang notabene berbahasa inggris semua, maka Player diharuskan paham dengan bahasa inggris. Emang sebesar apa sih kemampuan bocah kelas 6 SD berbahasa inggris, apalagi dengan sistem pengajaran yang memang gw akui ga efektif buat memahamkan si bocah tentang apa yang ia pelajari.

Dari hasil searching searching plus bantuan gugel trenslet, walaupun memang amburadul translate-an nya, karena gw ngetranslate perkata ya lama-lama jadi paham, bahkan gw tau nama-nama buah yang aneh-aneh kalo dibahasainggrisin(?) gara-gara game!

Oke, back to track! Jadi, abis gw dikenalin ke teknologi yang Wow itu, cita-cita gw berubah jadi Progammer. Yang padahal gw gatau itu apa, yang gw tau cuma bakal bisa jadi se-cool Om gw wkwk.

Padahal sih padahal, Progammer itu profesi yang cukup sulit, karena harus paham bahasa pemrograman bray! Beuuuhhh, memang itu sulit kalo dipelajari otodidak sama gw soalnya pernah baca buku yang isinya cara memahami bahasa C+ atau apalah itu, ya karena gw ganiat aja sih lol.

Yaampun ngantuk banget cerita kaya ginian wkwk, lanjut di part 2 deh.

Adios~

 

Selasa, 22 Desember 2015

Why do students cheat?


Ehem ehem
Masih bau-bau UAS nih suasananya 
Gimana UAS kalian kawan-kawan?
Lancar? 
Lancar kan .... nyonteknya? *eh
Ngaku aja, nyontek kan pasti, walau sebiji dua biji soal.

Berhubung saya abis selesai uas, saya melakukan research tentang hal ini yang masih saja nyantol di otak beberapa tahun ini.

Liat judul di atas?
Ya, itulah yang mengganggu pikiran saya akhir tahun-tahun belakangan /lah

So, Why do students cheat?

Students cheat for a variety of reasons:
It can be an intentional, calculated decision in order to get ahead. Often, it is motivated by the path to success that they see around them – people cheating without incurring any real consequences. What’s worse, society seemingly rewards these individuals for their dishonest behaviors. Students then come to believe that dishonest behavior is rewarded and often do not hesitate to engage in it.
The example we set as a society is what I have found to be the most significant reason for students cheating.
This also gets combined with a pressure to succeed. These students have grown up in a culture where even the team that scores the least gets a trophy. So they are not prepared for failure.
When they believe they are going to fail (which nowadays is often anything less than an “A”), students will do whatever it takes to avoid it, because they don’t want to let others (often family) down.
(theconversation.com)

And read this also
http://www.kompasiana.com/ciledugcity/10-alasan-mengapa-aku-mencontek-pengakuan-dosa-seorang-mantan-siswa-dan-solusinya_5500b6758133116819fa7cd3


Mungkin, ada lebih banyak variasi alasan di luar sana mengapa siswa menyontek.


Ada banyaaakk sekali pertanyaan di kepala saya tentang satu perkara ini.

Yang pertama, kenapa sih kalian nyontek?
Buat dapet nilai lah, karena guru lebih menghargai nilai ketimbang kejujuran kita. Begitu jawab salah satu teman.

Lalu, apa kalian lebih menghargai nilai hasil nyontek ketimbang hasil sendiri? 
Dan, apakah dihati kalian yang terdalam *ceileh* kalian puas dengan apa yang didapat?

Kemarin, abis try out, ada teman yang berinisial B yang sukses bikin saya terharu *sobs sobs*

Kenapa?
Karena dia ga nyontek, bro, sist!
Setelah sebelumnya terjadi dialog dengan saya mengenai contek menyontek. Dia termasuk salah satu oknum tukang nyontek yang yaa, walaupun ga banyak tapi sering ya sama aja. 

Memang kita berdua dialog cuma bertujuan refleksi diri aja, tapi tetep aja kan kenapa gw yang bangga pas dia nya ga nyontek :") *mewek haru*

Kenapa saya tau dia ga nyontek? Karena saya mencuri dengar percakapannya dengan teman lain :"3

R: B, nyontek ga tadi?
B: Ga. Soalnya cuman pas TO ini doang kesempatan buat ga nyontek ada. Kalau bisa ga nyontek pas TO kenapa enggak. Lumayan bisa buat ngukur kemampuan.
R: ... (saya lupa percakapan selanjutnya wkaka.)

Yang saya sayangkan adalah, KENAPA GA NYONTEKNYA PAS TO DOANG, YANG NOTABENE NILAINYA GA PENGARUH SAMA SEKALI KE RAPORT SAMA KELULUSAN :"D 

nah itu.
hiks
sedih juga ternyata.


Copyright © Upside down | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑